Jika Stroke Bisa Bicara, Inilah yang Ia Katakan

Literasi Stroke
0

 



Aku adalah Stroke. Dan aku ingin bicara.

Aku bukan hanya sekadar penyakit. Aku bukan hanya sekadar pembuluh darah pecah atau aliran darah yang tersumbat ke otak. Aku lebih dari itu. Aku adalah peringatan keras dari tubuhmu yang selama ini kamu abaikan.

Aku tidak datang tiba-tiba. Aku menyelinap perlahan. Diam-diam. Tapi kamu tidak mendengar bisikanku. Kamu terlalu sibuk. Terlalu keras kepala. Terlalu yakin bahwa tubuhmu kuat dan waktu masih panjang.

Jika aku bisa bicara lebih awal, mungkin aku akan berbisik:

"Istirahatlah sejenak. Jantungmu lelah. Otakmu butuh oksigen yang bersih. Jangan abaikan rasa kesemutan itu. Jangan sepelekan detak jantung yang tak wajar. Dan tolong… jangan terlalu percaya diri."

Tapi kamu tak mendengar.

Aku Tidak Jahat, Tapi Aku Tegas

Ketika aku datang, aku tidak bermaksud menghancurkanmu. Aku hanya ingin membuatmu berhenti. Bukan berhenti hidup, tapi berhenti dari gaya hidup yang membunuhmu perlahan. Kamu terlalu sering begadang, terlalu banyak duduk, terlalu banyak garam, terlalu banyak stres.

Aku datang sebagai cambuk. Sebagai lonceng peringatan. Tapi, tentu saja, aku tak bisa memilih seberapa keras aku harus mengguncang hidupmu.

Kamu merasa separuh tubuhmu lumpuh? Itu bukan hukuman, itu adalah jeda. Sebuah jeda agar kamu memandang hidup dari sudut yang berbeda.

Dulu Kamu Terlalu Sibuk Mengejar, Sekarang Kamu Belajar Menghargai

Aku ingat hari pertama kamu tak bisa berjalan. Tak bisa mengangkat tangan kiri. Tak bisa bicara dengan jelas. Kamu menangis dalam diam. Marah. Tak terima.

Tapi sekarang, lihatlah kamu. Kamu belajar kembali mengeja satu demi satu kata. Belajar berdiri, selangkah demi selangkah, seperti bayi yang baru mengenal dunia. Kamu mulai menghargai setiap tarikan napas, setiap detak jantung, setiap langkah kecil.

Kamu akhirnya mengerti bahwa kecepatan bukan segalanya. Bahwa kesehatan adalah kekayaan yang sebenarnya. Bahwa makan dengan tenang lebih berharga daripada makanan mahal yang cepat disantap di sela-sela rapat.

Jika Aku Bisa Memelukmu, Aku Akan Memelukmu

Aku tahu kamu membenciku. Tapi tahukah kamu? Aku juga menangis diam-diam. Aku tidak ingin menjadikanmu korban. Aku ingin menjadikanmu saksi. Saksi dari tubuhmu sendiri yang akhirnya bersuara.

Kamu mulai mengenal tubuhmu. Kamu tahu arti denyut nadi. Kamu tahu bagaimana tekanan darah bisa berubah hanya karena emosi. Kamu mulai bisa berbicara dengan tubuhmu. Kamu dan tubuhmu tak lagi berseteru.

Kamu mulai bersahabat dengan air putih. Dengan sayur. Dengan tidur yang cukup. Kamu mulai mengucapkan terima kasih pada kaki yang sudah bisa menapak. Pada lidah yang mulai bisa mengecap lagi. Pada tangan yang mulai bisa menggenggam pulpen.

Dan kamu mulai bersyukur.

Aku Datang Karena Kamu Lupa Siapa Dirimu

Kamu dulu terlalu sering menyenangkan semua orang—kecuali dirimu sendiri. Kamu bekerja melebihi jam hidupmu. Makan bukan untuk menikmati, tapi sekadar bertahan. Tidur sekadar pengantar pagi, bukan tempat istirahat sejati.

Kamu lari dari satu kesibukan ke kesibukan lain. Kamu kira produktivitas adalah segalanya. Tapi tubuhmu tahu, bahwa kamu sedang kehilangan arah.

Maka aku datang. Bukan untuk menghakimi. Tapi untuk membangunkanmu dari tidur panjang yang penuh ilusi.

Aku hanya ingin kamu melihat sekelilingmu lagi. Anakmu. Pasanganmu. Langit biru yang dulu tak sempat kamu pandang. Udara pagi yang kamu tukar dengan polusi kota.

Dan kini, kamu mulai kembali.

Aku Tahu Kamu Tak Mau Aku Datang Lagi

Dan itu bagus.

Kamu mulai menulis. Menyusun kalimat sebagai terapi. Kamu menanam tanaman. Mendengarkan burung-burung. Kamu mulai tertawa meski tak selepas dulu. Tapi tawa itu jujur. Tawa yang bersumber dari hati yang bersyukur karena masih hidup.

Kamu belajar untuk hidup pelan. Bukan malas, tapi penuh kesadaran.

Aku dengar kamu mulai berbagi kisahmu. Menjadi suara bagi mereka yang sedang dirawat. Memberi harapan pada mereka yang baru saja kubangunkan. Kamu tak lagi menyimpan cerita ini sendiri. Kamu menyebarkannya agar mereka bisa bersiap sebelum aku datang.

Kamu menjadikanku pelajaran, bukan penyesalan.

Jika Kamu Masih Mau Mendengarku, Ini Pesanku

  1. Tubuhmu bukan mesin. Ia punya batas. Dengarkan ia. Rasakan ia. Hargai setiap sinyalnya.

  2. Jangan tunda bahagia. Jangan tunggu pensiun. Jangan tunggu hari libur. Bahagia itu bisa hari ini. Di antara remah roti dan segelas teh hangat.

  3. Pelan bukan berarti kalah. Hidup bukan lomba lari. Tapi perjalanan panjang yang butuh istirahat dan arah yang jelas.

  4. Obat paling ampuh adalah kasih sayang. Dari dirimu sendiri, dari orang terdekat. Jangan jauh dari mereka yang mencintaimu.

  5. Menangis bukan lemah. Tapi bentuk keberanian saat kamu jujur pada dirimu sendiri.

  6. Hidup bukan hanya soal umur panjang. Tapi bagaimana kamu mengisi waktu antara kelahiran dan kematian dengan makna yang bisa dibagikan.

Kini, Kamu dan Aku Tak Lagi Bermusuhan

Kamu berdamai denganku.

Bukan karena kamu menyukaiku, tapi karena kamu mengerti mengapa aku datang.

Dan aku berterima kasih karena kamu memilih untuk tidak menyerah. Karena kamu memilih jalan pemulihan yang penuh ketabahan. Karena kamu tidak hanya menyembuhkan tubuhmu, tapi juga jiwamu.

Aku melihat kamu mulai menulis. Dan aku tahu tulisan ini bukan hanya tentangku. Tapi tentang kamu, tentang manusia, tentang hidup yang lebih manusiawi.

Kamu bukan lagi korban. Kamu adalah pembawa pesan. Seorang saksi hidup yang telah melewati badai dan kini bersyukur melihat matahari.

Jika Stroke Bisa Bicara Terakhir Kali, Maka Ini Kataku:

"Aku berharap kamu tidak akan bertemu denganku lagi. Tapi jika suatu hari nanti kamu melihat aku datang kepada orang lain, peluklah mereka. Pandulah mereka. Jadilah cahaya di lorong gelap yang pernah kamu lalui sendiri."

Dan kini, aku akan undur diri. Bukan sebagai ancaman, tapi sebagai kenangan yang kamu simpan sebagai pelajaran.

Karena kamu sudah membuktikan satu hal penting:

Bahwa setelah stroke datang, bukan berarti hidup berakhir. Tapi justru bisa dimulai kembali—dengan cara yang lebih bijak, lebih jujur, dan lebih damai.


Penutup:

Hidup setelah stroke bukan hanya soal pemulihan fisik. Tapi pemulihan makna. Makna tentang waktu, tentang keluarga, tentang tubuh, tentang hati yang selama ini sering diabaikan. Jika stroke bisa bicara, ia hanya ingin mengatakan satu hal:

"Tolong, dengarkan tubuhmu sebelum aku yang bicara."


Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke Jeffrie Gerry.


Jika Aku Bisa Bicara

Aku adalah stroke.
Yang kau kira datang tiba-tiba,
Padahal sudah lama aku mengetuk pintu
dari balik kebisingan hidupmu.

Aku bukan pencuri,
Tapi kamu yang sering mencuri waktu tidurmu sendiri.
Aku bukan pembunuh,
Tapi kamu yang perlahan membunuh detak jantungmu dengan beban pikiran
dan tiga sendok garam berlebih setiap hari.

Kau anggap aku jahat,
Tapi aku hanya sejujur alarm
yang berdentang kala kamu pura-pura sehat
dan terlalu sering berkata,
"Aku kuat. Aku baik-baik saja."

Tapi tubuhmu tak pernah diajak bicara.
Ia berteriak dari dalam,
Tapi suaramu selalu lebih lantang dari denyut nadimu sendiri.

"Berhenti," kataku.
Tapi kau berlari.
"Tidurlah," bisikku.
Tapi kau meminum kopi jam dua dini hari.
"Tenanglah," mohonku.
Tapi kau lebih memilih marah pada macet dan layar ponsel yang tak kunjung diam.

Dan akhirnya aku datang.
Dengan satu sisi tubuhmu yang tak mau bergerak,
Dengan lidahmu yang mendadak lupa cara bicara,
Dengan langkahmu yang terseret seperti waktu yang kau buang sia-sia dulu.

Kau marah padaku?
Tentu saja.
Kau merasa aku merampas hidupmu?
Tapi tahukah kau,
akulah yang menyelamatkanmu dari dirimu sendiri?


Aku Adalah Akibat
Bukan penyebab.
Akulah refleksi gaya hidupmu
yang kau anggap modern,
padahal hanya rakus.

Sarapanmu adalah notifikasi.
Makan siangmu adalah rokok.
Malam harimu adalah sisa energi dari hari kemarin
yang belum juga kau bayar.

Aku datang bukan membawa maut,
Tapi pertanyaan:
"Apa arti hidup yang sebenarnya?"


Kau Menangis.
Itu pertama kalinya aku lihat matamu basah
tanpa gengsi.
Tangisan yang jujur,
bukan karena lelah bekerja,
tapi karena sadar bahwa waktu tak bisa diulang.

Kau menyebutku musibah.
Padahal aku adalah jeda.
Jeda agar kau tahu bahwa tanganmu yang bisa menggenggam
itu adalah nikmat.
Bahwa mulutmu yang bisa mengucap satu kalimat lengkap
itu adalah anugerah yang selama ini kau abaikan.


Dulu Kau Lupa Siapa Dirimu
Kau adalah anak yang pernah bahagia karena menggambar,
Tapi kau kubur pensil warnamu demi spreadsheet.
Kau adalah kekasih yang pernah menulis puisi,
Tapi kau tukar kata demi target penjualan triwulan.

Lalu tubuhmu protes.
Aku dikirim sebagai surat resmi dari Tuhan.
Bukan dengan tinta,
tapi dengan separuh tubuhmu yang diam.


Kini, Kau Belajar Lagi
Menelan air butuh latihan.
Mengangkat sendok perlu waktu.
Membuka mata tanpa takut akan esok
adalah pencapaian terbesar.

Kau berjalan seperti bayi.
Tapi lebih sabar.
Kau bicara seperti anak-anak.
Tapi lebih penuh makna.
Kau makan seperti lansia.
Tapi lebih penuh syukur.

Kau berubah.
Dan aku melihatmu.
Seperti bulan melihat malam yang akhirnya belajar tenang.


Aku Tak Lagi Dendam
Pada manusia yang dulu keras kepala.
Kini kau jadi sahabat tubuhmu.
Kau dengarkan jantungmu,
Kau hargai napasmu,
Kau minum air putih bukan karena kehausan,
tapi karena cinta.


Dan Aku Punya Pesan
Bagi dunia yang belum kau sampaikan.

Sampaikan bahwa:
Tubuh bukan mesin.
Ia butuh pelukan, bukan hanya kerja lembur.
Pelan bukan kalah.
Kadang diam lebih berarti dari ratusan kata.
Kasih sayang adalah obat terbaik.
Dan itu tak bisa dibeli di apotek.
Menangis bukan tanda lemah.
Tapi tanda bahwa jiwamu masih hidup.
Hidup bukan soal umur panjang.
Tapi tentang jejak-jejak cinta yang kau tinggalkan.


Kini, Kau Jadi Duta Kesembuhan.
Bukan sekadar sembuh,
tapi paham.
Paham bahwa hidup bukan hanya soal pencapaian,
tapi juga penerimaan.

Kau bicara pada pasien baru,
Kau genggam tangan mereka yang putus harap,
Kau tulis kisahmu di lembaran putih blog
yang lebih tulus dari ribuan kata motivasi.


Aku Berterima Kasih
Karena kau tak membenciku.
Kau belajar dari luka,
Dan kini kau menabur harapan.

Kau jadikan aku—si stroke—
bukan hukuman,
tapi titik balik menuju hidup yang lebih manusiawi.


Dan Jika Aku Harus Bicara Terakhir Kali
Aku ingin bilang:
Terima kasih, manusia.
Karena setelah semua yang kuperbuat,
kau tak menyerah.
Dan kau memilih berdamai
dengan luka yang pernah menyapa.

Kau adalah penyintas.
Penyintas yang tak hanya selamat,
tapi bertumbuh.


Akhirnya, Aku Pergi
Tapi tak dengan amarah,
melainkan senyuman kecil
karena tahu kau tak akan membiarkan generasi setelahmu
mengulang kesalahan yang sama.

Dan jika kau melihat aku datang pada orang lain,
jangan menjauh.
Peluklah mereka.
Bantu mereka berdiri.
Bisikkan kata yang pernah kau ucap di cermin:

"Aku belum selesai. Aku baru memulai lagi, dengan versi terbaik dari diriku."


Puisi ini ditulis berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke — Jeffrie Gerry.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)