Kenapa Stroke Selalu Datang Tanpa Undangan?

Literasi Stroke
0

 


Kenapa Stroke Selalu Datang Tanpa Undangan?


Oleh: Jeffrie Gerry


Pendahuluan: Ketika Hidup Mendadak Berhenti Sebentar

Bayangkan ini: pagi itu kamu bangun seperti biasa, mata masih berat, kopi belum terseduh. Kamu ingin bangun, tapi tubuhmu menolak. Tanganmu kaku. Kaki kanan tak bisa digerakkan. Bibirmu ingin bicara, tapi hanya suara kabur yang keluar. Wajahmu setengah beku. Saat itulah kamu menyadari — sesuatu yang tidak kamu undang telah masuk ke dalam hidupmu: stroke.

Dan ia tidak mengetuk. Tidak mengucap salam. Tidak permisi.

Ia datang begitu saja.

Tiba-tiba, seluruh dunia jadi berbeda. Hal yang dulu sederhana—berdiri, menelan, berbicara—kini menjadi perjuangan luar biasa.

Dan kamu bertanya dalam hati:
“Kenapa stroke selalu datang tanpa undangan?”


1. Karena Kita Tak Pernah Menyiapkan Kursi untuknya

Tidak ada orang yang menyiapkan ruang untuk penyakit. Tak ada orang yang memasukkan ‘stroke’ dalam daftar tamu. Tapi tubuh kita adalah rumah yang terus ditempati, entah oleh tamu yang baik seperti energi dan semangat, atau tamu yang diam-diam menyelinap seperti tekanan darah tinggi, kolesterol, dan kelelahan kronis.

Stroke datang karena tubuh kita tak lagi sanggup menahan tekanan. Bukan hanya tekanan darah, tapi juga tekanan hidup yang kita pendam sendiri.

Kita terus berjalan cepat,
terus memikul beban,
terus memburu pencapaian—
tapi lupa duduk sejenak dan bertanya pada tubuh: “Apa kau baik-baik saja?”


2. Karena Kita Terlalu Percaya Diri Bahwa Semua Akan Baik-Baik Saja

“Kapan terakhir kali kamu memeriksakan tekanan darahmu?”
“Saya sehat kok. Masih kuat kerja, masih bisa nyetir jauh.”

Jawaban seperti itu sering kali lahir dari mulut kita. Kita menganggap sehat itu berarti tidak merasa sakit. Padahal tubuh bisa menahan dan menipu. Seperti bom waktu yang menunggu ledakan.

Stroke datang bukan karena kamu lemah. Justru kadang, stroke memilih orang-orang kuat yang terus menunda istirahatnya. Ia datang ketika kamu terlalu yakin bahwa kamu tidak akan kena. Padahal kesehatan bukan soal kepercayaan, tapi kesadaran.


3. Karena Kita Mengabaikan Bahasa Tubuh Kita Sendiri

Tubuh sebenarnya sudah sering memberi kode.

  • Pusing tiba-tiba.

  • Tangan kesemutan.

  • Mata berkunang.

  • Kaki mendadak lemas.

  • Dada sesak kalau terlalu marah.

Tapi kita bilang, “Ah, cuma kecapekan.”
Padahal bisa jadi itu adalah suara dari tubuh yang sudah terlalu lama tak didengar.

Stroke adalah teriakan keras, setelah tubuhmu berulang kali berbisik tapi kau diamkan.


4. Karena Dunia Terlalu Cepat dan Kita Tak Mau Ketinggalan

Dunia sekarang menuntut segalanya serba cepat.
Makan cepat.
Tidur sedikit.
Kerja lebih.
Tersenyum palsu di antara tekanan demi tekanan.

Di balik layar sosial media yang penuh tawa, banyak orang sebenarnya sedang kelelahan. Dan kelelahan itu bukan cuma mental, tapi juga biologis. Jantung memompa lebih cepat, pembuluh darah menyempit, tekanan darah melonjak. Dan ketika pembuluh darah di otak tak sanggup lagi menahan beban itu… stroke mengetuk.

Atau lebih tepatnya: menerobos masuk.


5. Karena Kita Lupa Bahwa Hidup Perlu Dihidupi, Bukan Sekadar Dijalanin

Stroke adalah peristiwa yang menghentikan kita dari autopilot.
Ia memaksa kita duduk. Diam. Merasa.
Ia merenggut kemampuan kita yang dulu kita anggap sepele: berjalan, bicara, tersenyum.

Dan di saat itu, kita baru sadar…
Hidup bukan soal target, tapi soal momen.
Soal waktu bersama keluarga, soal pelukan anak, soal rasa manis teh hangat di sore hari.

Stroke mengingatkan bahwa hidup tak harus cepat—yang penting sadar.


6. Karena Kita Jarang Mengucap Terima Kasih pada Diri Sendiri

Setiap hari kita menyuruh tubuh ini bergerak, berpikir, menghasilkan. Tapi kapan terakhir kali kamu bilang: “Terima kasih sudah kuat, ya.” pada tubuhmu sendiri?

Stroke datang tanpa undangan karena kamu juga tak pernah mengundang dirimu sendiri untuk istirahat. Kamu hanya tahu mengapresiasi orang lain, tanpa pernah menghargai tubuhmu sendiri.


7. Karena Stroke Adalah Alarm, Bukan Hukuman

Tidak, stroke bukanlah akhir dari segalanya.
Ia bukan hukuman dari Tuhan.
Ia bukan karma.
Ia bukan kutukan.

Stroke adalah alarm.
Alarm yang sangat keras.
Alarm yang mengingatkan bahwa hidup harus diperbaiki.

Dan seperti alarm lainnya, kamu bisa mematikannya. Kamu bisa bangun dan memilih berubah.


8. Karena Kita Baru Sadar Betapa Berartinya “Biasa-Biasa Saja” Setelah Stroke Datang

Sebelum stroke, kamu ingin semua luar biasa.
Punya rumah megah. Mobil dua. Jabatan tinggi.
Setelah stroke, kamu hanya ingin satu: bisa mengancingkan baju sendiri.

Tiba-tiba, “biasa-biasa saja” menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Bisa mandi sendiri.
Bisa berjalan tanpa dibantu.
Bisa menulis kembali.

Dan kamu menangis. Bukan karena sakit. Tapi karena sadar—betapa banyak yang telah kamu miliki, namun tak kamu syukuri.


9. Karena Kita Lebih Takut Gagal Secara Ekonomi daripada Gagal Secara Fisik

Kita diajarkan bahwa gagal adalah ketika penghasilan menurun, atau bisnis tak berkembang.
Tapi tak ada yang mengajarkan bahwa gagal merawat tubuh sendiri adalah kegagalan paling nyata.

Stroke menghapus semua saldo ATM dalam sekejap. Ia mengajarkan bahwa uang tak akan bisa membeli waktu jika tubuh sudah tak mau diajak kompromi.


10. Karena Tubuh Tak Pernah Bohong, Tapi Kita yang Selalu Menolak Percaya

Dalam tubuh ada kejujuran.
Tapi sering kali, kita menutup telinga dan menolak percaya.

Kita biarkan detak jantung melonjak.
Kita abaikan kelelahan yang menumpuk.
Kita terus menyebut itu semua sebagai "biasa saja."

Hingga stroke datang… dan memaksamu percaya bahwa tubuhmu punya batas.


Penutup: Stroke Datang Tanpa Undangan, Tapi Bukan Tanpa Arti

Tak ada yang ingin dikunjungi stroke.
Tapi saat ia datang, bukan berarti hidupmu selesai.
Justru dari situlah hidupmu dimulai kembali—dengan cara yang lebih bijak.

Dari stroke, kamu belajar:

  • Hidup bukan soal cepat, tapi soal sadar.

  • Bahagia bukan tentang mewah, tapi tentang cukup.

  • Tubuh bukan mesin, tapi sahabat.

  • Istirahat bukan malas, tapi bagian dari mencintai diri.


Artikel ini dibuat berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke Jeffrie Gerry.


Puisi: “Tanpa Undangan, Aku Datang”

Aku datang bukan dengan salam
Bukan dengan suara, bukan dengan langkah
Tak kuketuk pintumu, tak kupijak pelan
Aku datang... begitu saja
Mengejutkanmu di pagi itu
Saat tanganmu tak mau mendengar perintah
Saat kakimu membatu, bibirmu kelu
Dan seluruh hidupmu berubah seketika

Bukan karena aku benci
Bukan karena aku ingin merusak
Tapi karena tubuhmu… sudah terlalu lama memanggilmu
Dan kau tak pernah menjawab


Kau tak pernah mengundangku
Karena siapa pula yang ingin didatangi penyakit?
Tapi tubuhmu—rumah yang kau isi dengan janji palsu—
sudah terlalu sesak oleh ambisi
Terlalu penuh oleh pekerjaan,
oleh tekanan,
oleh beban yang tak pernah kau bagi


Kau terlalu sibuk berlari
Mengejar waktu yang terus kau paksa
Tanpa jeda, tanpa henti
Tanpa bertanya, “Apa aku baik-baik saja hari ini?”

Kau terus berkata,
“Aku kuat. Aku mampu. Aku bisa.”
Tapi tubuhmu… menangis dalam diam
Dan aku datang
Bukan untuk menyakitimu
Tapi untuk membangunkanmu


Aku bukan kutukan
Aku adalah cambuk
Cambuk yang membuatmu menoleh
Pada dirimu sendiri
Pada kehidupan yang selama ini kau lewati tanpa sadar
Yang kau jalani tanpa hati
Yang kau pacu seperti lomba…
Padahal hidup bukan perlombaan


Aku datang tanpa undangan
Karena kau tak pernah duduk bersamaku
Tak pernah ajak tubuhmu berdialog
Tak pernah bertanya pada jantungmu,
“Apakah kamu lelah?”
Tak pernah kau tanya pada tekanan darahmu,
“Maukah kau bersahabat denganku?”


Aku tak suka datang seperti ini
Menyeret wajahmu ke lantai
Membekukan separuh tubuhmu
Mencuri kemampuanmu berbicara
Tapi aku tahu… hanya dengan cara inilah
Kau akan berhenti


Berhenti berpura-pura
Berhenti tersenyum palsu
Berhenti mengatakan,
"Aku sehat kok,"
Padahal tubuhmu sudah menjerit
Berhenti menyangkal kenyataan
Bahwa kau sedang rusak… perlahan-lahan


Aku datang saat detak jantungmu jadi senjata
Saat tekanan darahmu menjadi lonceng bahaya
Saat kolesterol menjadi penghianat diam-diam
Aku datang…
Karena semua alarm sudah kau abaikan
Karena bisikan sudah tak cukup
Karena tubuhmu kelelahan,
Dan tak ada jalan lain selain menguncinya sementara


Aku datang bukan untuk membunuhmu
Tapi untuk menghidupkanmu kembali
Dari hidup yang salah arah
Dari hidup yang terlalu cepat
Dari hidup yang tak lagi menghidupkanmu


Ketika kau tak bisa mengangkat sendok
Kau menangis
Bukan hanya karena lemah
Tapi karena sadar
Betapa selama ini kau tak pernah menghargai sendok di tanganmu

Ketika kau tak bisa berjalan
Kau terdiam
Dan kau mulai mengingat
Betapa selama ini kakimu tak pernah istirahat
Dipaksa mengejar dunia
Yang tak pernah cukup


Stroke—itulah aku—
Datang tanpa undangan,
Tapi membawa pesan
Pesan bahwa hidup harus diulang
Dari awal
Dengan perlahan
Dengan penuh kesadaran
Dengan syukur yang jujur
Dengan cinta yang tenang


Aku tahu… aku mengganggu
Menghapus agenda,
Membatalkan proyek besar
Membuat semua rencana tinggal kenangan
Tapi untuk apa semua itu,
Jika tubuhmu tak bisa lagi menikmatinya?


Kau pernah berkata,
“Hidup harus terus produktif.”
Tapi setelah aku datang,
Kau hanya ingin satu:
bisa duduk, tanpa bantuan siapa pun.

Kau pernah mengejar uang
Lembur hingga malam
Tapi setelah aku mampir,
Uangmu hanya untuk kursi roda
Untuk fisioterapi
Untuk pembalut inkontinensia
Untuk rasa malu yang harus kau telan


Tapi lihatlah dirimu sekarang
Setelah kami berdamai
Kau mulai tersenyum lagi
Bukan senyum kemenangan
Tapi senyum kesadaran
Bahwa sederhana adalah keajaiban


Kini kau mulai menghargai air putih
Yang dulu kalah oleh kopi dan soda
Kau mulai mencintai jam tidurmu
Yang dulu dipenuhi layar biru
Kau mulai bersyukur pada waktu
Yang dulu kau minta lebih,
Tapi kini kau manfaatkan lebih baik


Kau mulai berkata “tidak”
Pada beban yang tak penting
Pada marah yang tak perlu
Pada obsesi yang tak berujung
Dan kau mulai berkata “ya”
Pada tubuhmu
Pada hatimu
Pada waktu bersama keluarga
Yang selama ini tertunda


Aku datang tanpa undangan
Tapi kini kau jadikan aku guru
Kau menulis tentangku
Kau bicara padaku
Bukan lagi dengan amarah
Tapi dengan pelukan


Kau bahkan menyapa pasien lain
Menghibur mereka yang baru saja kutampar
Kau bilang,
“Tenang… ini belum akhir.
Ini justru awal dari hidup yang lebih jujur.”


Dan aku pun tersenyum
Dalam diam
Karena tugasku selesai
Karena kau sudah berubah
Karena kini, bahkan tanpaku,
Kau sudah tahu caranya mencintai dirimu sendiri


Kini aku pamit
Mungkin aku akan kembali
Mungkin tidak
Tapi kau sudah siap
Kau bukan lagi korban
Kau adalah penyintas
Penyintas yang tahu
Bahwa hidup bukan tentang berlari
Tapi tentang merasakan setiap langkah


Puisi ini ditulis berdasarkan yang terjadi pada penulis yang sekarang pasca pemulihan stroke — Jeffrie Gerry.

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)